Jangan Geser Pulau Kami: Aceh Bukan Daerah Mainan Jakarta

Kami sampaikan kepada Mendagri bahwa jangan main-main dengan wilayah Aceh, pulau kami bukan untuk digeser sesuka hati.
Oleh : Rasyidin Raden

 

SAYA selaku pemuda Aceh, menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam atas terbitnya keputusan administratif yang menyebut empat pulau, yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang yang secara historis, geografis, dan sosial-kultural merupakan bagian integral dari Aceh, justru diklasifikasikan sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Wilayah Aceh bukan papan catur politik Jakarta. Kita paham betul, permainan wilayah bisa punya banyak kepentingan politik, ekonomi, bahkan eksplorasi sumber daya. Tapi jangan jadikan Aceh sebagai korban dari politik sentralistik.

Dalam perspektif tata kelola negara yang baik, kebijakan seharusnya tidak hanya berpijak pada parameter teknokratis atau administratif semata, melainkan juga menghargai aspek historis, yuridis, dan sosiologis.

Aceh bukan sekadar entitas geografis, namun merupakan entitas sejarah, identitas, dan kedaulatan yang lahir dari relasi panjang antara rakyat dan tanah airnya. Mengabaikan itu sama saja dengan memutus akar sejarah bangsa.

Kita tidak bisa menafikan bahwa Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang secara konstitusional diakui dengan status kekhususan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Undang-undang ini bukan produk lokal, melainkan hasil dari perjanjian damai nasional antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam MoU Helsinki.

Maka, penentuan batas wilayah Aceh, baik di darat maupun laut, tidak boleh dilakukan secara sepihak atau dengan mengabaikan semangat dan substansi UUPA.

Apalagi, bila kita tarik ke ranah geopolitik dan geohistoris, keempat pulau tersebut secara turun-temurun masuk dalam pengelolaan masyarakat pesisir Aceh Singkil.

Menyamarkan atau bahkan memindahkan klaim administratif terhadap pulau-pulau ini ke provinsi lain tanpa dasar partisipatif dan kejelasan kajian interdisipliner, hanya akan melahirkan ketegangan vertikal dan horizontal.

Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang memutuskan dari atas tanpa mendengar suara dari bawah. Sebagaimana dikatakan Bung Hatta: “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin di desa yang menyala.”

Maka biarlah lilin dari ujung barat negeri ini ikut menyinari keadilan kebangsaan.

Kita ingin membangun Indonesia yang berdaulat, adil, dan berakar pada identitas sejarahnya. Kedaulatan administratif tidak boleh menjadi tirani atas kedaulatan historis.

Kami sampaikan kepada Mendagri bahwa jangan main-main dengan wilayah Aceh, pulau kami bukan untuk digeser sesuka hati.

Kami tegaskan, kekecewaan dan penolakan tegas atas keputusan Kemendagri yang menyebut empat pulau yang secara sejarah, adat, dan geografis merupakan bagian dari Aceh, tiba-tiba dimasukkan ke wilayah Sumatera Utara.

Ini bukan sekadar soal administrasi, ini soal harga diri dan kedaulatan Aceh sebagai entitas daerah yang punya dasar hukum dan sejarah yang sangat kuat.

Hari ini pulau kami disebut milik provinsi lain. Besok apa lagi? Aceh sudah cukup sabar menjaga perdamaian, cukup dewasa menghormati NKRI, tapi jangan anggap itu kelemahan.

Empat pulau itu bukan hasil klaim semena-mena. Itu warisan geografis dan sejarah dari nenek moyang kami di pesisir Aceh. Tapi hari ini justru pulau kami diakui milik provinsi lain. Atas dasar apa?

Jika Kemendagri tidak bisa berlaku adil dan transparan, maka kami meyakini ini bukan hanya sekadar kesalahan teknis, ini kezaliman administratif, dan kezaliman harus dilawan.

Perlu diingat, Aceh punya status kekhususan berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang lahir dari perjanjian damai nasional antara GAM dan Republik Indonesia.

Apa yang dilakukan Kemendagri ini bukan hanya melukai perasaan rakyat Aceh, tapi juga berpotensi melanggar MoU Helsinki yang jadi fondasi perdamaian kita sampai hari ini.

Bagaimana mungkin batas wilayah bisa diubah begitu saja tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh, DPR Aceh, apalagi masyarakat adat di pesisir Singkil yang sudah turun-temurun hidup dan beraktivitas di pulau-pulau itu?

Jangan jadikan peta sebagai alat kekuasaan yang menghapus sejarah.

Kami mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera membatalkan keputusan itu. Ini bukan cuma soal pulau, ini bisa jadi bara kecil yang memicu api ketidakpercayaan terhadap pusat. Kita sudah terlalu sering dikhianati atas nama “administrasi”.

Indonesia ini besar karena keberagaman daerahnya dihormati, bukan karena pusat merasa paling tahu segalanya. Empat pulau itu bukan milik Sumut dan selamanya itu milik Aceh.

 

Penulis adalah Wakil Ketua KNPI Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed