Banda Aceh – Apresiasi yang dilontarkan Komisi III DPRA mendapat sorotan luas dari pelaku usaha sektor riil dan Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Syahril Ramadhan. Ia menilai PT Pembangunan Aceh (PEMA) sebagai Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) belum memberikan kontribusi apa pun untuk daerah.
Menurutnya, sebagai BUMD milik Aceh, PEMA mengemban tugas bukan hanya menciptakan pendapatan daerah melalui Pendapatan Asli Aceh (PAA), tetapi juga bertanggung jawab membangun perekonomian Aceh secara makro. PEMA seharusnya menjadi lokomotif pembangunan ekonomi Aceh dalam mendukung sektor riil, meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh, menciptakan lapangan kerja, serta melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan anak usaha atau Kontrak Kerja Sama Operasional (KSO) dengan perusahaan lokal.
“PEMA belum berbuat apa-apa untuk Aceh. Apa yang diapresiasi oleh Komisi III DPRA? Kami menduga DPRA tidak memahami tugas dan fungsi BUMD Aceh. Seharusnya DPRA melihat ekosistem pembangunan ekonomi apa yang sudah terbentuk dari hadirnya PEMA untuk Aceh dan masyarakatnya,” ungkapnya.
Syahril juga menyoroti kinerja PEMA yang terkesan bermain di zona aman. Hingga kini, belum ada satu pun terobosan nyata dari PEMA sejak awal berdiri. Ia mencontohkan pembukaan jalur lalu lintas laut internasional Krueng Geukuh–Penang yang dianggap sebagai terobosan Gubernur Mualem melalui program Quick Win, sementara PEMA hanya bertindak sebagai eksekutor, itupun belum tentu mampu dijalankan.
“Seharusnya PEMA memiliki visi misi sendiri dan program kerja yang mandiri. Di daerah lain, bukan pemerintah daerah yang menginisiasi terobosan bisnis daerah, melainkan BUMD yang mengajukan kepada pemerintah. Lalu, apa yang sebenarnya diapresiasi DPRA?” sambungnya heran.
Selain itu, aktivitas bisnis PEMA saat ini dianggap belum mencerminkan dukungan terhadap program pemerintah pusat dan daerah yang sedang membangun ekosistem ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi biru (blue economy). PEMA kini hanya memperoleh keuntungan dari dividen PT Pema Global Energi (PGE) yang bersumber dari pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Sumur Tua Blok B, hasil alih kelola dari PT Pertamina Hulu Energi (PHE).
“Selain tidak berperan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi Aceh, PEMA juga belum menjadi entitas bisnis daerah yang mendukung pembangunan sektor green economy dan blue economy. Padahal Aceh memiliki produk pertanian yang besar untuk menopang perdagangan daerah tetangga, dan laut serta lahan pertambakan puluhan ribu hektare yang masih dibiarkan terbengkalai,” jelasnya.
Syahril berharap, dengan kepemimpinan baru di bawah Mawardi Nur sebagai Direktur Utama, PEMA dapat memperbaiki visi misi serta menciptakan produktivitas kerja yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Aceh secara makro. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dengan pelaku usaha lokal agar PEMA benar-benar menjadi instrumen pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian daerah.
“Saya sepakat dengan apresiasi terhadap kepemimpinan PEMA di tangan anak muda. Harapan kita, Mawardi Nur mampu membenahi tata kelola, mereformasi manajemen, dan menjawab tantangan ekonomi daerah maupun global. Kita ingin PEMA menjadi pionir BUMD yang bisa setara dengan BUMN. Karena Aceh adalah daerah otonomi khusus, BUMA Aceh tidak punya alasan untuk tertinggal dari BUMD di daerah lain,” tutup Syahril.