Wakil Ketua DPRK Bongkar Skandal Bank Aceh: Triliunan Rupiah Lari ke Luar Daerah

Aceh Utara — Wakil Ketua DPRK Aceh Utara dari Fraksi Partai Adil Sejahtera (PAS), H. Jirwani, SE atau yang akrab disapa Nek Jir, melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan Bank Aceh Syariah. Ia menuding bank milik daerah tersebut lebih memilih menempatkan dana triliunan rupiah di luar Aceh ketimbang menggerakkan ekonomi masyarakat sendiri yang saat ini sedang terpuruk.

“Dana hingga Rp8 triliun diparkir ke luar Aceh, baik dalam bentuk kredit korporasi untuk perusahaan di daerah lain maupun penempatan dana di bank syariah daerah lain. Ini sangat miris, sementara ekonomi masyarakat Aceh sedang sulit dan bergantung pada peredaran uang,” tegas Nek Jir, Senin (22/9/2025).

Politisi PAS itu bahkan meminta aparat penegak hukum turun tangan. “Saya mendesak kepolisian dan Kejati Aceh mengusut, apakah ada unsur pidana dari kebijakan Bank Aceh Syariah yang menempatkan uang rakyat ini ke perusahaan-perusahaan di luar daerah,” tambahnya.

Desak Hadirkan Bank Syariah Lain

Nek Jir juga berharap pemerintah Aceh agar membuka peluang bagi bank-bank syariah lain masuk ke Aceh. Menurutnya, keberadaan kompetitor akan menciptakan persaingan sehat sekaligus menekan praktik bunga tinggi yang kerap dikeluhkan masyarakat.

“Selama ini bunga pinjaman di Bank Aceh Syariah terlalu tinggi. Akibatnya masyarakat enggan mengambil kredit. Kalau ada bank syariah lain, masyarakat bisa memilih mana yang paling ringan. Jangan sampai masyarakat dipaksa ke Bank Aceh meskipun bunganya mencekik,” ujar Wakil Ketua DPRK.

Data Resmi Bongkar Pelanggaran Qanun dan Aturan BI

Kritik tersebut bukan tanpa dasar. Berdasarkan Laporan Berkelanjutan 2024 yang diterbitkan Bank Aceh pada 17 September 2025, penyaluran pembiayaan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hanya 12,15% dari total portofolio pembiayaan.

Angka itu jelas melanggar Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018, yang mewajibkan minimal 40% portofolio bank dialokasikan untuk UMKM sejak 2022.

Tidak hanya itu, Bank Aceh juga konsisten melanggar ketentuan Peraturan BI No. 14/15/PBI/2012 yang mensyaratkan bank syariah menyalurkan pembiayaan UMKM paling rendah 20% dari total pembiayaan.

Tren historis menunjukkan pola pelanggaran berulang, pada 2021, hanya 7,59%, pada 2022 sebesar  9,39%, pada 2023 sebesar 11,11% dan pada 2024 sebesar 12,15%.

Padahal mandat besar Bank Aceh, sebagaimana ditegaskan dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2014, adalah menjadi motor penggerak ekonomi berbasis syariah. Kini, komitmen itu kembali dipertanyakan.

Kontra-Produktif dengan Amanah Qanun

Minimnya pembiayaan UMKM serta strategi penempatan dana keluar daerah dinilai kontra-produktif dengan amanah qanun. Kritik publik pun semakin tajam, mempertanyakan apakah Bank Aceh masih layak menjadi tumpuan utama ekonomi rakyat Aceh atau justru berubah menjadi mesin bisnis elitis yang meninggalkan akar syariah dan pembangunan daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *