Banda Aceh — Aroma ketidakwajaran tercium dari proyek pembangunan tambak udang sistem High-Density Polyethylene (HDPE) di Kecamatan Labuhanhaji Barat, Aceh Selatan, yang bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh Tahun Anggaran 2025. Proyek senilai Rp 636 juta itu sudah lebih dulu cair uang muka kerja (UMK) 30 persen, meski pelaksanaan di lapangan belum juga berjalan hingga pertengahan Oktober 2025.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh media ini, pencairan UMK dilakukan melalui SP2D Nomor 0048/SPM.BL/3.25.0.00.0.00.01.06/2025 tanggal 23 September 2025. Padahal, sejumlah temuan menunjukkan proyek tersebut belum memenuhi syarat administratif maupun teknis, mulai dari status lahan bermasalah, penerima manfaat yang menolak, hingga dugaan penggantian kelompok penerima secara sepihak.
Tender Diduga “Pesanan”, Selisih Rp 1 Juta dari HPS
Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, kepada wartawan, Senin (13/10/2025), menyebut proyek itu diduga kuat sarat kepentingan dan perlu segera dibatalkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh sebelum menimbulkan kerugian keuangan negara.
Proyek yang berada di bawah pengelolaan DKP Aceh itu dimenangkan oleh CV. Sumber Makmur Aksata dengan nilai penawaran Rp 636 juta dari HPS Rp 637 juta. Perusahaan ini disebut-sebut merupakan titipan oknum Unit Layanan Pengadaan (ULP) Aceh.
“Selisih hanya Rp 1 juta dari HPS sudah cukup menimbulkan tanda tanya. Proyek ini dari awal terindikasi tidak sehat dan berpotensi jadi ladang permainan pihak tertentu,” ujar Nasruddin.
TTI juga mengungkap bahwa proyek tambak tersebut awalnya merupakan usulan pokok pikiran (Pokir) salah seorang anggota DPRA Dapil IX yang tidak lagi mencalonkan diri dalam Pemilu 2024. Namun setelah penetapan pemenang tender beberapa bulan lalu, pekerjaan fisik tak kunjung dimulai.
“Kelompok penerima manfaat menolak karena lahan yang akan dibangun belum jelas kepemilikannya. Anehnya, proyek tetap dipaksakan jalan,” tambahnya.
Kelompok Baru Muncul Mendadak
Hasil penelusuran TTI menemukan bahwa setelah penolakan kelompok awal, muncul kelompok penerima manfaat baru yang dibentuk secara mendadak hanya beberapa pekan terakhir. Ironisnya, DKP Aceh justru merekomendasikan kelompok baru tersebut sebagai penerima bantuan, padahal legalitasnya belum lengkap.
“Kelompok baru ini belum punya SK Hibah dari Gubernur Aceh, tidak memiliki Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA), belum ada izin OSS, AMDAL, maupun persetujuan pemanfaatan air laut (KPRL/PNBP) dari pemerintah kabupaten,” ungkap Nasruddin.
Menurutnya, jika proyek tetap dijalankan dalam kondisi seperti itu, maka berpotensi melanggar aturan pengelolaan keuangan negara dan bisa berujung pada temuan hukum.
“Jangan biarkan program bantuan yang seharusnya berpihak kepada masyarakat berubah menjadi proyek kepentingan politik,” tegasnya.
Oknum PNS Diduga Terlibat Langsung
TTI juga menuding adanya keterlibatan oknum PNS Pemkab Aceh Selatan dalam proyek tambak udang vaname tersebut. Oknum ini disebut ikut mengatur pembentukan kelompok penerima baru sekaligus menyediakan lahan pribadinya di kawasan pesisir Gampong Kuta Iboh, Labuhanhaji Barat.
“Keterlibatan PNS aktif dalam proyek bantuan APBA itu jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kami mendesak Bupati Aceh Selatan selaku Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menindak tegas,” kata Nasruddin menegaskan.
Ia menambahkan, jika proyek tetap dipaksakan, indikasi penyalahgunaan wewenang dan potensi korupsi kian menguat. “Kita minta APIP dan aparat penegak hukum segera turun melakukan audit investigatif,” ujarnya.
DKP Aceh Belum Memberikan Penjelasan
Hingga berita ini diturunkan, media ini telah berupaya meminta klarifikasi dari Kepala Bidang Budidaya Perikanan DKP Aceh, Abdus Syakur, serta mantan Kepala DKP Aceh, Aliman, yang menjabat saat proses perencanaan dan tender proyek berlangsung. Namun, keduanya belum memberikan tanggapan atas sejumlah pertanyaan yang dikirim melalui pesan Whatsapp.
Publik kini menanti langkah tegas Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam menindaklanjuti dugaan kejanggalan ini, sebelum proyek senilai ratusan juta rupiah itu berubah menjadi potensi kerugian negara yang nyata.