Banda Aceh — Dugaan permainan anggaran di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, khususnya pada Bidang Budidaya Perikanan, kembali mencuat ke permukaan.
Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Aceh (HIMPALA) menuding sejumlah pejabat di dinas tersebut telah menjadikan sektor perikanan sebagai “lahan basah” mafia proyek yang berulang setiap tahun.
Ketua HIMPALA, Syahril, menyebut kasus terbaru terkait pembangunan tambak HDPE di Kecamatan Labuhanhaji Barat, Aceh Selatan, menjadi bukti nyata adanya praktik penyimpangan di tubuh DKP Aceh. Proyek yang dibiayai melalui anggaran Otonomi Khusus (Otsus) Aceh Tahun 2025 itu disebut dipaksakan berjalan meski bermasalah sejak tahap perencanaan dan administrasi.
“Mulai dari perencanaan sudah bermasalah, penerima manfaat menolak karena lahan tambak belum jelas, tapi proyek tetap dipaksakan jalan. Ini membuktikan bahwa Bidang Budidaya DKP Aceh sudah berubah jadi ladang empuk mafia anggaran,” tegas Syahril kepada wartawan, Selasa (14/10/2025).
Pejabat Diduga Jadi “Agen Proyek”
Syahril menuding, ada oknum pejabat DKP Aceh di bawah Kabid Budidaya Perikanan Abdus Syakur yang berperan sebagai “agen proyek pemerintah” dengan modus mengatur bantuan dan mengamankan bagian keuntungan.
“Informasi yang kami terima dari lapangan, setiap bantuan yang diurus oleh oknum ini selalu diminta ‘pembagian hak’. Bahkan, ada keramba jaring apung (KJA) yang terang-terangan disebut milik salah satu pejabat di DKP Aceh,” ungkapnya.
HIMPALA menilai praktik semacam itu sudah berlangsung lama dan menjadi pola berulang tiap tahun.
“Dulu bermasalah di program benih ikan, setelah itu muncul kolam bioflok, lalu tambak HDPE. Setiap tahun muncul proyek baru, tapi ujung-ujungnya bermasalah dan menyisakan persoalan hukum,” tambah Syahril.
Baca Juga : Tambak HDPE Bermasalah! HIMPALA Bongkar Dugaan “Mafia Anggaran” di DKP Aceh, Desak Abdus Syakur Dicopot
Ribuan Pembudidaya Ikan Terdampak
Menurut HIMPALA, praktik penyalahgunaan anggaran di DKP Aceh berdampak langsung terhadap ribuan pembudidaya ikan di Aceh.
“Ketika program bermasalah, pemerintah langsung menghentikannya tanpa solusi. Padahal banyak pembudidaya yang menggantungkan hidup dari bantuan tersebut,” ujar Syahril.
Ia menilai, bukannya menciptakan lapangan kerja baru, program bermasalah itu justru membuat pembudidaya eksisting semakin kehilangan mata pencaharian.
“DKP seharusnya hadir sebagai pengayom, bukan malah jadi pemain. Ini sangat menyedihkan,” katanya.
Desakan ke Gubernur Aceh
HIMPALA mendesak Gubernur Aceh Muzakir Manaf agar tidak melantik Abdus Syakur ke posisi apa pun di pemerintahan.
“Abdus Syakur itu bukan sosok teknokrat, tapi operator anggaran. Setiap tahun selalu muncul dugaan penyimpangan di bawah bidangnya, tapi selalu bisa lolos dari proses hukum,” tegas Syahril.
Ia menyebut, masyarakat pembudidaya kini tidak lagi percaya pada integritas pejabat DKP Aceh.
“Kami melihat ada upaya sistematis untuk membancak anggaran dan menutup ruang partisipasi masyarakat. Jika ini terus dibiarkan, maka sektor perikanan Aceh tidak akan pernah maju,” ujarnya.
HIMPALA Siap Dorong Penegakan Hukum
Syahril menegaskan, pihaknya akan mendorong aparat penegak hukum (APH) untuk menelusuri dugaan penyimpangan di DKP Aceh dan membuka kembali kasus-kasus lama yang selama ini tidak ditindaklanjuti.
“Kami akan menekan APH agar supremasi hukum ditegakkan. Kami ingin memastikan, tidak ada lagi pejabat yang kebal hanya karena punya koneksi politik atau birokrasi,” tegasnya.
Menurutnya, HIMPALA bukan sekadar pelaku usaha, tapi juga bagian dari masyarakat yang berhak mengawasi penggunaan anggaran publik.
“Kami ingin pembenahan menyeluruh di sektor perikanan. Sudah cukup lama anggaran dihabiskan, tapi dampaknya nihil bagi masyarakat,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik menilai, tudingan HIMPALA ini menjadi alarm keras bagi Gubernur Aceh untuk melakukan evaluasi total terhadap pengelolaan anggaran di DKP Aceh, khususnya bidang budidaya, yang kini diduga telah jauh melenceng dari semangat pembangunan sektor perikanan rakyat.