Konflik Agraria di Aceh: Siapa Pemain Tanah Rakyat?

Ingat” Konflik agraria di Aceh bukan soal tanah semata, tetapi soal keberpihakan dan moralitas. Apakah pemimpin Aceh berani berpihak kepada rakyatnya, atau justru menjadi kaki tangan penguasa tanah rakyat?
Oleh: Azhari

 

Aceh, tanah yang dulu harum karena keberaniannya melawan kolonialisme, kini justru terluka oleh konflik yang berbeda rupa, namun tak kalah kejam: konflik agraria. Di berbagai daerah, rakyat bertikai dengan perusahaan, masyarakat adat berhadapan dengan negara, dan petani berjuang melawan kekuatan modal. Di balik semua itu, muncul satu pertanyaan penting yang selama ini jarang diurai tuntas: siapa sebenarnya pemain tanah rakyat di Aceh?

Membaca Pola Lama dalam Wajah Baru

Konflik agraria di Aceh bukan sekadar persoalan sengketa lahan, melainkan bagian dari problem ketimpangan struktural yang diwariskan sejak zaman kolonial. Ketika perkebunan skala besar didirikan di atas tanah adat tanpa persetujuan masyarakat, saat itulah ketidakadilan mulai tumbuh.

Setelah merdeka, sistem itu tidak sepenuhnya dibongkar. Justru diperkuat dengan kebijakan konsesi, HGU, dan izin usaha yang berpihak pada segelintir elite. Kini, atas nama investasi dan pembangunan, pola yang sama diulang dengan wajah baru: perusahaan-perusahaan raksasa, pemilik modal, oknum pejabat, dan elite lokal berselingkuh menguasai tanah rakyat.

Pemain Utama: Siapa Mereka?

Ada beberapa kelompok aktor yang bisa disebut sebagai pemain tanah rakyat dalam konflik agraria Aceh:

1. Korporasi Besar Pemilik HGU

Perusahaan-perusahaan perkebunan sawit, tambang, hingga kehutanan menjadi aktor utama. Banyak di antara mereka menguasai ribuan hingga puluhan ribu hektar lahan melalui HGU. Sebagian HGU tersebut diduga bermasalah, baik karena habis masa berlaku, tumpang tindih dengan tanah adat, atau diperoleh dengan prosedur cacat.

Yang lebih parah, perusahaan-perusahaan ini kerap memperluas wilayah garapannya hingga ke lahan yang seharusnya milik masyarakat adat. Dan ketika rakyat mempertahankan tanahnya, aparat keamanan kerap kali turun bukan untuk melindungi rakyat, melainkan menjaga kepentingan korporasi.

2. Oknum Birokrat dan Aparat

Tak bisa dipungkiri, sebagian masalah agraria di Aceh tak lepas dari peran oknum di pemerintahan. Mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi, ada saja pejabat yang terlibat dalam praktik penggelapan lahan, pemalsuan dokumen, hingga penerbitan izin di atas lahan konflik.

Beberapa kasus bahkan menunjukkan adanya keterlibatan aparat keamanan dalam proses pengamanan lahan sengketa atas nama ketertiban, namun sebenarnya berpihak pada kepentingan korporasi. Inilah mengapa rakyat Aceh sering merasa diperlakukan sebagai penjahat di tanah sendiri.

3. Elite Politik Lokal

Ada pula aktor dari kalangan elite politik lokal. Tak sedikit dari mereka yang memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung atas lahan-lahan bersengketa. Sebagian menjadi pemegang saham di perusahaan, sebagian lagi memanfaatkan kekuasaan untuk memuluskan izin atau menjadikan konflik sebagai alat tawar-menawar politik.

Dalam beberapa kasus, konflik agraria justru dijadikan komoditas politik menjelang pemilu. Rakyat diperalat sebagai alat demo, sementara elite di belakang layar justru menjual hak atas tanah itu untuk kepentingan politik atau ekonomi pribadi.

4. Mafia Tanah

Di atas semua itu, ada kelompok mafia tanah yang menjadi benalu di tubuh birokrasi. Mereka terdiri dari calo, makelar, hingga pemalsu dokumen yang bekerja sama dengan oknum pejabat, notaris nakal, dan pemodal. Mafia tanah ini memainkan peran penting dalam memperlancar peralihan hak atas tanah rakyat menjadi milik korporasi.

Modus yang digunakan beragam, mulai dari memalsukan surat keterangan tanah, memanfaatkan data pertanahan yang tumpang tindih, hingga menekan masyarakat dengan ancaman pidana jika tak mau menyerahkan lahan.

Rakyat: Korban yang Dikorbankan

Dalam skema konflik ini, rakyat Aceh berada di posisi paling bawah. Mereka kehilangan lahan garapan, sumber penghidupan, dan hak adat yang diwariskan turun-temurun. Saat rakyat mencoba melawan, mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, aparat hukum, dan sistem birokrasi yang lebih berpihak kepada pemodal.

Di banyak kasus, rakyat bukan hanya dipaksa menyerahkan tanah, tetapi juga kehilangan kehormatan. Ada petani yang dipenjara, kampung yang diisolasi, bahkan nyawa yang melayang karena mempertahankan tanah warisan leluhur.

Mengapa Aceh Tak Berdaya?

Pertanyaan kritisnya: kenapa Aceh yang memiliki kekhususan lewat MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) justru tak mampu menyelesaikan konflik agraria ini?

Jawabannya ada pada lemahnya komitmen politik dan keberpihakan pemimpin daerah. Qanun tentang tanah adat hingga kini tak kunjung final. Pendataan tanah adat dan ulayat tak pernah serius dilakukan. Banyak kepentingan elite politik lokal yang terlalu nyaman dengan pola permainan ini, karena di balik sengketa agraria itu tersimpan kekayaan politik dan ekonomi.

Aceh, yang semestinya punya otonomi luas untuk menata sumber daya agrarianya, justru gagal memanfaatkan kesempatan itu untuk kesejahteraan rakyat. Alih-alih, malah menjadi panggung elitisme baru di atas penderitaan masyarakat kecil.

Saatnya Rakyat Bersatu dan Bangkit

Aceh tak bisa terus begini. Jika tidak segera dibenahi, konflik agraria ini akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak. Karena rakyat yang lapar dan marah tak selamanya bisa ditahan dengan ancaman atau intimidasi.

Masyarakat adat, petani, akademisi, dan aktivis harus bersatu membangun kekuatan sipil. Mendesak pemerintah Aceh untuk menertibkan HGU bermasalah, membongkar praktik mafia tanah, dan memetakan ulang seluruh wilayah adat di Aceh. Juga perlu ada pembentukan Satgas Agraria Aceh independen yang tidak tunduk pada kepentingan politik manapun.

Karena bila tidak, Aceh yang kaya sumber daya ini akan terus menjadi ladang konflik, dan rakyatnya hanya jadi penonton di tanah sendiri.

Ingat” Konflik agraria di Aceh bukan soal tanah semata, tetapi soal keberpihakan dan moralitas. Apakah pemimpin Aceh berani berpihak kepada rakyatnya, atau justru menjadi kaki tangan penguasa tanah rakyat? Saatnya Aceh memilih jalan. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya soal kedaulatan politik, tapi juga kedaulatan atas tanah, air, dan ruang hidup rakyatnya.

Aceh harus kembali ke tangan rakyat.
Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *