Tanpa Aceh, Tak Ada Republik—Tapi Kini Pulau Kami Dirampas!

Kembalikan pulau kami secara beretika, hormati perjanjian damai, atau bersiaplah melihat benih konflik tumbuh kembali.

Oleh Syahril Ramadhan

Sejak Indonesia merdeka, Aceh memosisikan diri bukan sebagai beban republik, tetapi sebagai fondasi. Aceh disebut sebagai daerah modal bukan karena retorika, melainkan karena kontribusi nyata: emas, logistik, perlawanan bersenjata, dan legitimasi politik bagi lahirnya republik. Namun ironi terbesar dalam sejarah nasional adalah bagaimana Aceh, yang seharusnya dihormati, justru menjadi daerah yang paling sering dikhianati.

Mulai dari Presiden Soekarno yang mengingkari perjanjiannya dengan Teungku Daud Beureu’eh hingga rezim Orde Baru yang meniadakan keistimewaan Aceh, luka itu bertumpuk. Tidak mengherankan bila kemudian muncul resistensi politik dan bersenjata yang panjang, paling konsisten, dan paling menyakitkan dalam sejarah republik: Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Tak seperti pemberontakan lain di Indonesia yang meredup seiring waktu, perlawanan Aceh berlangsung selama lebih dari tiga dekade, hingga akhirnya tsunami 2004 menjadi momentum yang memaksa republik dan Aceh duduk di meja perundingan. Hasilnya adalah kesepakatan damai Helsinki 2005, yang menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA)—sebuah pengakuan sah atas hak-hak khusus Aceh, termasuk dalam pengelolaan wilayah.

Namun kini, luka lama itu kembali digores.

Baru-baru ini, pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, memindahkan secara sepihak empat pulau yang selama ini masuk dalam administrasi Aceh ke wilayah Sumatera Utara. Aksi diam-diam ini dilakukan tanpa konsultasi dan di luar semangat partisipatif yang seharusnya menjadi ruh dari hubungan pusat-daerah, apalagi dengan Aceh yang memiliki status hukum istimewa.

Ini bukan sekadar persoalan teknis pemetaan wilayah. Ini adalah pelanggaran etika, hukum, dan politik. Mengubah batas wilayah tanpa melibatkan Aceh sama artinya dengan merobek-robek MoU Helsinki dan UUPA—dua fondasi damai yang membuat republik ini bisa bernapas lega setelah puluhan tahun diguncang konflik bersenjata.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah pusat terus bermain api dengan Aceh?

Aceh bukan daerah yang bisa dibujuk dengan janji kosong atau diatur dengan instruksi sepihak. Sejarah membuktikan bahwa rakyat Aceh adalah pejuang, bahkan sejak masa kolonial. Wilayah ini tak pernah benar-benar tunduk pada penjajahan; bahkan Kesultanan Utsmaniyah di Istanbul menganggap Aceh sebagai bagian dari jaringan kekuasaan Islam global yang layak diproteksi. Saat republik ini belum lahir, Aceh sudah berdiri tegak, berdaulat, dan dihormati.

Aceh tidak pernah kalah dalam konflik bersenjata. GAM tidak pernah benar-benar dikalahkan secara militer oleh negara. Yang terjadi adalah keputusan sadar untuk mengalah, demi kemanusiaan, demi rakyat, dan demi harapan hidup bersama dalam sebuah negara yang menjunjung keadilan. Tapi jika keadilan itu kembali diinjak, bukan mustahil bara yang lama padam akan kembali menyala.

Apakah pemerintah pusat benar-benar memahami arti dari perjanjian damai? Atau MoU Helsinki hanya dianggap lembaran kertas tanpa makna politik? Bila demikian adanya, maka jangan salahkan siapa pun jika kepercayaan yang dibangun dengan darah dan air mata itu kembali retak. Dan sejarah membuktikan: ketika Aceh bergerak, republik terguncang.

Apa yang bisa dilakukan hari ini masih sederhana: kembalikan empat pulau tersebut ke wilayah Aceh melalui mekanisme yang adil, transparan, dan etis. Libatkan pemerintah Aceh dalam prosesnya. Hormati struktur hukum yang telah disepakati bersama. Jangan ada lagi arogansi administratif yang seolah-olah Aceh hanyalah anak kost di rumah besar bernama Indonesia.

Aceh sudah cukup sering mengalah. Tapi jangan berharap Aceh akan terus diam jika kehormatannya diinjak. Aceh tidak pernah kalah. Ia hanya mengalah, untuk republik yang terus saja mengkhianatinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *